Agustus 2018
Sudah beberapa kali saya berkunjung ke Kota Tua Jakarta, tetapi baru kali ini saya mengunjungi Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri dan Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), padahal ketiga museum tersebut biasanya sering menjadi daftar wajib jika berkunjung ke Kota Tua Jakarta.
Oke, mari disimak ulasan saya tentang Museum Bank Indonesia.
Sejarah
Pada tahun 1828 (pada masa pendudukan penjajah Belanda) Bank Indonesia masih bernama De Javasche Bank di kota Batavia menggunakan bangunan bekas rumah sakit.
Foto di atas merupakan ruang pelayanan nasabah setelah mengalami pengembangan pada tahun 1937.
Lalu kita akan memasuki lorong gelap dengan suguhan gambar gerak “hujan koin” disertai dengan informasi tentang uang-uang koin perihal waktu dibuat dan waktu beredar serta detail material koin-koin tersebut.
Di mulai dari ruangan pertama yang menceritakan tentang asal usul transaksi perdagangan pada masa nenek moyang bangsa Indonesia yang terkenal sebagai pelaut. Dengan menggunakan perahu mereka berlayar mengarungi lautan untuk berdagang rempah-rempah ke wilayah Asia Barat, Madagaskar hingga ke pesisir timur Afrika.
Rempah-rempah Nusantara sudah popular sejak ribuan tahun silam. Dari Asia Barat pedagang Arab menyalurkan komoditas ini hingga ke Venesia dan dari sana dijual ke seluruh Eropa dengan harga setinggi emas. Maraknya perdagangan di Asia kelak melahirkan cikal bakal perbankan di Nusantara.
Terdapat juga informasi mitos tentang jalur rempah juga para pelaut dari negara-negara Eropa dan Cina yang singgah di nusantara dengan tujuan mencari rempah-rempah. Ada yang hanya berniat berdagang, ada juga yang memiliki niat lebih dari berdagang yaitu mengeksploitasi rempah-rempah dan akhirnya menjajah nusantara demi kepentingan keuntungan negara mereka.
Tempat berikutnya adalah pojok diorama patung lilin yang mengilustrasikan kegiatan transaksi orang-orang Belanda di De Javasche Bank.
Masuk ke area selanjutnya adalah bercerita tentang masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, kemerdekaan Negara Indonesia, masa revolusi hingga masa ketika pernah menjadi Republik Indonesia Serikat. Pada masa Republik Indonesia Serikat, setiap wilayah memiliki mata uang masing-masing yang disebut dengan ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah).
koleksi pakaian pejuang Indonesia, tentara Jepang dan tentara Belanda dipajang di lantai yang ditutupi kaca
ORI dan ORIDA
Menurut infografik yang ada di museum ini, De Javasche Bank berganti menjadi Bank Indonesia pada tahun 1950, lalu berdasarkan undang-undang pada tahun 1953 Bank Indonesia menggantikan fungsi dari De Javasche Bank, yaitu mengeluarkan dan mengatur peredaran uang.
Selain itu ada metamorfosa logo Bank Indonesia, mulai dari tahun 1828 dengan logo masih menggunakan huruf “JB” (Javasche Bank) hingga menjadi “BI” (Bank Indonesia). Logo favorit saya adalah “BI” tahun 1950.
sketsa desain gedung Museum Bank Indonesia
Ada lagi diorama patung lilin yang menceritakan tentang transaksi orang-orang Belanda dan orang etnis Tionghoa sebagai pegawai bank, sebagai penambah agar suasana menjadi lebih nyata terdapat suara latar seperti riuh orang sedang bertransaksi di bank, suara ketika “menjeplok stempel” dan suara mesin ketik.
Selanjutnya kita akan memasuki ruangan dengan tema periode keuangan negara Republik Indonesia yang pastinya berhubungan dengan perbankan.
PERIODE 1 (tahun 1953 s.d. 1959) – Menuju Negara Modern
Negara yang masih sangat baru dengan persoalan yang mengharu biru, antara lain: pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah negara, perekonomian yang masih berjalan di tempat, ekspor yang dilakukan negara hanya sekitar karet dan minyak bumi, sehingga membuat kondisi keuangan negara defisit. Di kondisi seperti ini, Bank Indonesia berfungsi sebagai badan resmi negara untuk mencetak uang untuk mengurangi defisit negara.
Tongkat Komando dan Palu Bank Tunggal yang digunakan oleh Jusug Muda Dalam (Gubernur BI tahun 1963 - 1966)
PERIODE 2 (tahun 1959 s.d. 1966) – Membangun Sikap Kebangsaan
Di masa ini pemerintah menginginkan bangsa Indonesia memiliki kepribadian yang kuat dan memulai proyek-proyek pembangunan fisik tetapi pembangunan perekonomian terabaikan. Pengeluaran negara yang nilainya sangat besar untuk membiayai pembangunan, sementara penerimaan negara sangat terbatas, Bank Indonesia bertindak sebagai kasir pemerintah dan membantu menutupi defisit anggaran. Menteri Keuangan di masa ini dapat mengambil tindakan yang menyimpang dari UU Pokok BI bila dianggap perlu dan segala wewenang Dewan Moneter berpindah ke Kabinet Pemerintahan.
PERIODE 3 (tahun 1966 s.d. 1983) – Ekonomi Sebagai Haluan Negara
Pergantian rezim dari Orde Lama (Presiden Soekarno) ke Orde Baru (Presiden Soeharto) mengubah haluan negara. Di rezim sebelumnya pembangunan ekonomi sempat terabaikan, pada masa Orde Baru pembangunan ekonomi menjadi “panglima” dengan mengambil langkah-langkah yang berhasil menstabilkan dan mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Salah satu faktor penolong adalah dua kali “boom” minyak. Sektor perbankan pun mulai berbenah. Independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral dipulihkan kembali.
PERIODE 4 (tahun 1983 s.d. 1997) – Globalisasi Ekonomi: Hilangnya Batas Negara
Pada periode ini perekonomian Indonesia melaju sangat pesat. Sektor perbankan dan sektor perdagangan berkembang, investasi dan pinjaman luar negeri mengalir. Namun tidak disertai kehati-hatian. Kegemilangan ekonomi pun tersapu setelah nilai tukar rupiah jatuh dratis dalam sekejap. Posisi Gubernur BI yang setara menteri, membuat BI sulit dalam menjalakan fungsinya sebagai bank sentral (untuk pengendalian moneter).
Di area ini diperlihatkan replika gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi dengan material akrilik.
PERIODE 5 (tahun 1997 s.d. 1998) – Krisis Segala Lini
Ini adalah akhir dari pemerintahan Orde Baru. Rupiah terhantam menyusul krisis nilai tukar Baht Thailand. Upaya intervensi gabungan BI bersama otoritas moneter Singapura dan Jepang tidak terlalu banyak menolong kestabilan Rupiah. Banyak modal asing ditarik. Rupiah semakin terpuruk setelah insiden kerusuhan Mei 1998. Nilai Rupiah sempat diperdagangkan Rp. 16.500 per Dollar pada Juni 1998. Ini adalah masa KRISIS MONETER di Indonesia. Di mana sebelum krisis nilai 1 Dollar masih dalam pada kisaran Rp. 2.300. Selain itu sebanyak 16 bank ditutup.Nilai Rupiah berangsur-angsur memulih dan stabil pada kisaran Rp. 7.500 – Rp. 8.000 setelah pasar bersikap positif terhadap perkembangan ekonomi dan kondisi politik yang mulai membaik setelah PEMILU 1999 dan Rupiah semakin menguat.
Krisis keuangan dan perbankan juga membuat pemerintah menetapkan keputusan untuk bank yang “sakit” dilikuidasi dan bank “sehat” yang mengalami kesulitan dibantu. Pada masa ini setidaknya ada 16 (enam belas bank) dilikuidasi.
Pada lorong ini suasana dibuat berwarna merah dan mencekam, selain itu ada juga benda-benda memoir dari kejadian kerusuhan pada Mei 2018 (bekas motor terbakar, tas, sepatu dan topi korban kerusuhan), saat itu banyak toko-toko dijarah dan dibakar massa yang mulai menggila (mungkin akibat terinfeksi virus siput gila dari si Gary siputnya Spongebob). Ditayangkan juga video yang menampilkan berita-berita kengerian kerusuhan Mei 2018 dengan back sound musik yang menegangkan. Saya sempat merinding dan hampir menangis ketika melihat video kerusuhan itu.
pada saat krisis moneter, telepon di Bank Indonesia tidak berhenti berdering
PERIODE 6 (tahun 1999 s.d. 2004) – Berbenah Setelah Krisis
Melalui UU No. 23 Tahun 1999 mengenai Kedudukan dan Tugas Bank Indonesia juga peran Bank Indonesia berdasarkan UU No. 24 Tahun 1999 mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, negara Indonesia mulai membenahi arsitektur perbankan.
Suasana pada ruangan ini didominasi oleh warna biru, mulai membuat para pengunjung sedikit rileks, setelah dibuat tegang di ruangan sebelumnya.
Upaya untuk berbenah melalui program Arsitekur Perbankan Indonesia dengan restrukturisasi yang dilakukan pemerintah dan BI dengan membuat kerangka dasar perbankan Indonesia yang bertujuan memperkuat struktur perbankan.
Krisis ekonomi menjadi pengalaman berharga bagi perbaikan kebijakan moneter Indonesia. Bank Indonesia fokus kepada tujuan memelihara kestabilan nilai rupiah dengan didukung oleh UU No. 23 Tahun 1999.
PERIODE 7 (tahun 2004 s.d. 2011) – Fokus Ulang Peran BI
Ada beberapa program dari BI untuk mengembalikan peran Bank Indonesia, seperti: Mencegah Krisis Dengan Menalangi (bank sentral memberikan pinjaman kepada industri perbankan ketika mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek); Rupiah Berdaulat (semua transaksi yang ada di negara Indonesia wajib menggunakan rupiah); Era Baru Pengawasan Bank (membentuk OJK – Otorisasi Jasa Keuangan, merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap kegiatan-kegiatan sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2011).
Zaman sudah berubah, sistem pembayaranpun sudah semakin canggih dan mutakhir. Bahkan ada pernyataan: “Dompet Tipis” Lebih Praktis. Jadi saat ini transaksi pembayaran cukup dengan menggunakan kartu dan pada tahun 2004 Bank Indonesia menyelanggarakan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) seperti: kartu ATM, kartu debet, kartu kredit dan kartu prabayar (e-money).
BANK SYARIAH (tahun 1905 s.d. 2013)
Setelah mata dibuat “tegang” di lorong-lorong sebelumnya, di area pembahasan tentang bank syariah yang didominasi dengan warna hijau ini membuat mata menjadi rileks dan tenang, hahahaaa. Sambil membaca dengan santai informasi tentang penjelasan perkembangan bank syariah di Indonesia.
Pada tahun 1905 s.d. 1993 periode sebelum adanya bank syariah, umat muslim masih meragukan tentang “bunga”. Bunga, selain banyak yang mendambakan tapi tidak sedikit juga yang menghindarinya, terlebih lagi jika yang dimaksud adalah bunga utang-piutang. Para ulama memutuskan bahwa bunga gadai, bunga bank dan deposito, serta bunga koperasi adalah haram.
Lembaga keuangan syariah pertama berdiri pada tahun 1984 yaitu Koperasi Jasa Keahlian Teknosa dan tahun 1988 yaitu BPR Berkah Amal Sejahtera di Bandung.
Pada tahun 01 November 1991 Bank Muamalat Indonesia diumumkan sebagai bank syariah pertama di Indonesia dan mulai beroperasi pada 01 Mei 1992. Hanya saja langkah Bank Muamalat masih tertatih karena belum ada aturan mengenai operasional bank dengan prinsip syariah. Hingga terbit UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Setelah memasuki ruangan dengan tema periode-periode keuangan dan perbankan Indonesia, selanjutnya ruangan kantor (ruang kerja) yang pernah digunakan oleh pejabat Bank Indonesia di masa Belanda untuk rapat dan bertransaksi.
kaca inlay yang memajang gambar Dewa Merkurius (Dewa Perdagangan), juga memajang lambang kota Surabaya, Batavia dan Semarang pada masa Belanda
Saya pikir tour museum sudah berakhir sampai pada ruangan ini, ternyata masih banyak ruangan yang lainnya, masih ada “ruang hijau” yang dulu digunakan sebagai ruang pertemuan besar seluruh pejabat Bank Indonesia. Di ruangan dengan tembok keramik berwarna hijau ini terdapat foto-foto gubernur Bank Indonesia dari awal pendirian hingga saat ini. Selain itu, di atas jendela di ruangan ini terdapat kaca inlay (kaca patri) yang melambangkan rempah-rempah (informasi penjelasannya saya hilangkan, jadi tidak bisa saya bahas, heheheee).
Setelah itu masih ada lagi, ruang pamer Numismatik. Sebelum saya ceritakan tentang Numismatik, saya bahas dulu isi ruang lemari besi yang berisi tumpukan batangan emas (Wuuuih!!! Mata saya langsung berbinar, hahahaaa)
saya tidak tau, apa ini batangan emas asli atau tidak
Kalau pengunjung ingin merasakan berat batangan emas seperti apa? Pengunjung dapat menyentuh batangan emas yang lapisannya sudah mengelupas ini. Hahaaaaa
Emas yang sejak jaman dulu digunakan sebagai standar satuan nilai karena nilainya tinggi dan juga stabil dan universal (dapat diterima di semua tempat).
Oke, kita beranjak ke ruang Numismatik. Numismatika adalah ilmu yang mempelajari tentang uang dan sejarahnya. Numismatik berasal dari bahasa Yunani (nomisma yang berarti koin atau mata uang). Bahkan pada masa pemerintahan Julius Caesar ( 100 SM - 44 SM) ada yang sudah menuliskan buku tentang numismatika yang meliputi berbagai segi: sejarah, geografi, ekonomi, metalurgi (dalam hal telaah materi koin), kegunaan uang serta proses pembuatan uang.
Umumnya seorang numismatika juga adalah seorang kolektor yang mengumpulkan uang dalam berbagai bentuk (baik logam atau kertas) serta alat-alat pencetak uangnya.
Koleksi numismatik yang ada di Museum Bank Indonesia meliputi uang koin pada jaman kerajaan-kerajaan kuno nusantara, uang masa kolonial Belanda, ORI dan ORIDA.
Setelah dari ruangan Numismatik, kita memasuki ruangan yang menjelaskan tentang arsitektur bangunan Museum Bank Indonesia (tidak saya bahas, karena file foto informasi tentang ruangan ini juga hilang, heheheee).
Mengunjungi Museum Bank Indonesia yang lumayan cukup luas ini, jika kita tidak menyukai museum akan terasa membosankan. Tapi jika kita sangat menyukai museum dan sejarah, ketika tour telah usai, ada perasaan kurang puas, hahahaaa. Walaupun kaki pegal tetapi tidak dirasa.
kaca inlay yang menyimbolkan kegiatan masyarakat
Itu tadi ulasan saya tentang Museum Bank Indonesia, semoga informasi yang saya sampaikan setidaknya dapat membantu walaupun tidak banyak dan belum sempurna sekali. Heheee
Komentar
Posting Komentar