Langsung ke konten utama

Gedung Joang '45

Oktober 2018

Di bulan November ini, dimana pada tanggal 10 November kemarin Bangsa Indonesia memperingati hari Pahlawan, maka walaupun terlambat saya akan memposting artikel tentang museum di daerah Jakarta yang erat kaitannya dengan perjuangan mencapai kemerdekan Negara Republik Indonesia.

Dimulai dari Gedung Joang '45 dan seluruh penjelasan atau informasi sebagian besar saya dapat dari Museum Gedung Joang '45 ini. Silahkan disimak.

Pada masa Hindia Belanda, gedung ini berfungsi sebagai hotel bernama Hotel Schomper. Pada waktu Belanda menyerah tanggal 08 Maret 1942, gedung ini diambil alih oleh Jepang dan diserahkan kepada Jawatan Propaganda Jepang (SENDENBU (klik ini)).

Sejak bulan Juli 1942 oleh SENDENBU diserahkan kepada pemuda untuk digunakan tempat pendidikan para pemuda untuk menyokong pemerintah Jepang di Indonesia. Di samping itu Jepang membolehkan gedung ini dipergunakan mendidik para pemuda dalam menyongsong kemerdekaan. Tempat ini dijadikan tempat pendidikan politik yang dibiayai oleh “GUNSEIKANBU SENDENBU”. Jepang bermaksud mendidik para pemuda Indonesia menjadi kader-kader demi kepentingan Asia Timur Raya maksud dan cita-cita Jepang ini kemudian berhasil dibelokkan oleh para pemimpin Indonesia yang ditugaskan menjadi guru di tempat ini dengan menanamkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang murni. Pusat pendidikan ini kemudian dikenal dengan nama “Ashrama Angkatan Baru” Indonesia dan akhirnya menjadi “Asrama Menteng 31”, dan pemudanya disebut “Pemuda Menteng 31”.

Tahun 1972 ditetapkan sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi undang-undang monumen (MONUMENTEN ORDONANTIE) STBL.1931 No. 238 dan SK Gubernur KDKI Jakarta No. CB.11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972. Pada tanggal 19 Agustus 1974 gedung ini dijadikan sebagai Museum Joang ’45.


Di teras gedung pengunjung disambut oleh patung Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dan cetakan telapak tangan pejuang wanita Indonesia.

Ir. Soekarno

Drs. Moh. Hatta


Masuk ke dalam gedung langsung disuguhkan relief wajah para tokoh-tokoh yang berkaitan dengan peristiwa detik-detik menjelang kemerdekaan Indonesia.


Seperti yang disampaikan di atas, Gedung Joang ’45 adalah salah satu titik awal gerakan kaum muda yang akhirnya memaksa Dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. “Pemoeda” identik dengan kumpulan kaum muda militan, tanpa harta apalagi ambisi pribadi dan hanya satu tujuan: hidup bermatabat atau paling tidak mati sebagai manusia merdeka!

Gedung Joang Menteng 31 awalnya merupakan sebuah Hotel Schomper I milik seorang perempuan Belanda. Bangunan megah dengan enam ruangan utama ini, pada jaman penjajahan Jepang berfungsi sebagai Pusat Pendidikan Politik. Para pemuda seperti Soekarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, AM Hanafi dan yang lainnya menjadi penghuni Asrama Angkatan Baru Indonesia di Pusat Pendidikan Poilitik ini. Asrama tempat para pemuda pejuang itu kini berlokasi di Jalan Menteng Raya nomor 31, Jakarta Pusat. Di sinilah para Pemuda Menteng 31 berguru kepada kedua proklamator.

Maket kondisi eksisting sebelum pemugaran (tahun 1974) dan bisa dikatakan maket bangunan asli sesuai kondisi pada saat dibangun (tahun 1938).

SUKARNI & SK TRIMURTI

Menteng 31, pada masa penjajahan Belanda
Sekitar tahun 1930-an, daerah Menteng merupakan hutan yang banyak ditumbuhi pohon Menteng. Daerah ini merupakan tanah milik orang Arab yang kemudian dibeli oleh pemerintah Hindia-Belanda dan dijadikan pemukiman orang-orang Belanda. Seiring perkembangan kota Batavia serta perdagangan hasil bumi ke mancanegara semakin meningkat, pada tahun 1938 L.C. Schomper membuka hotel di daerah Menteng dengan nama Hotel Schomper yang terletak di jalan Menteng 31 sekarang. Hotel ini dipergunakan khusus untuk para pedagang asing, pejabat tinggi Belanda dan pribumi yang singgah di Batavia.

Hotel Schomper merupakan hotel termegah saat itu. Bangunannya khas kolonial kuno, di sebelah depan pilar-pilar marmer yang membatasi serambi depan dan pintu masuk dengan bordes marmer. Ruang tamunya sangat luas di bagian tengah bangunan. Ruang makan ditempatkan di belakang dekat dengan dapur, gudang dan 3 kamar untuk juru masak. Di samping kiri dan kanan bangunan serambi utama membentuk dua sayap dengan 5 kamar di sayap kiri dan 8 kamar besar yang dilengkapi kamar mandi di sayap kanan.

Menteng 31, pada masa pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, Hotel Schomper di jalan Menteng 31 dikuasai oleh Sendenbu (barisan Propaganda Jepang). Pada bulan Juli 1942, gedung Menteng 31 diserahkan kepada para pemuda Indonesia dan atas kerja keras para pemuda seperti Adam Malik, Sukarni, Chaerul Saleh dan A.M. Hanafi, gedung Menteng 31 dijadikan asrama Angkatan Baru Indonesia.

Kemudian Gedung Menteng 31 dijadikan markas Pusat Tenaga Rakyat atau PUTERA yang didirikan pada tanggal 09 Maret 1943 oleh badan pertahanan Jepang untuk mewadahi dan mengendalikan kaum nasionalis. Namun atas permintaan para pengurus Angkatan Baru Indonesia, para pemuda masih dapat menggunakan gedung ini sebagai pangkalan kegiatan gerak cepat Komando Pemuda antara pusat dan daerah. Pada 03 Maret 1944, PUTERA dibubarkan dan diganti dengan organisasi baru dengan tugas yang sama yaitu memobilisasi rakyat Indonesia dengan nama Jawa Hokokai (Kebangkitan Rakyat Jawa) dan bermarkas di Gedung Menteng 31. Sejak itu para Pemuda Menteng 31 berjuang di luar gedung tersebut.

Menteng 31, pada masa Kemerdekaan
Pasca Proklamasi Kemerdekaan para pemuda Menteng 31 melebur dengan Komite van Aksi Revolusi Proklamasi dan berhasil merebut kembali Gedung Menteng 31 dari tangan Jawa Hokokai pada tanggal 23 Agustus 1945. Program pertama Komite van Aksi yaitu mendesak agar dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan menjadikan Pembela Tanah Air (PETA) serta Heiho sebagai Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Setelah PETA dibubarkan oleh Jepang, Komite van Aksi merubah total programnya dengan menyusun kekuatan pemuda bersenjata yang dipelopori Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Menteng 31 yang kemudian melebur ke dalam organisasi bersenjata “Laskar Rakjat Djakarta Raja” yang dibentuk di belakang gedung Menteng 31. Pada tanggal 11 November 1945, Perdana Menteri Sjahrir menyatakan Jakarta dijadikan sebagai Kota Diplomasi. Akhirnya pemuda Menteng 31 dan Laskar Rakjat Djakarta Raja meninggalkan Menteng 31 dan menyingkir ke markas Leonilen di Jatinegara kemudian Bekasi, Karawang dan Cikampek.

Menteng 31, tempat pendidikan politik kebangsaan
Pada masa pendudukan Jepang dan pergerakan Nasional, gedung ini digunakan sebagai markas Para Pemuda Radikal dalam melancarkan aksi merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Pada bulan Juli 1942, Menteng 31 menjadi asrama Angkatan Baru Indonesia, tempat berkumpulnya para pemuda radikal dalam mematangkan rencana kemerdekaan Indonesia. Asrama ini berfungsi sebagai tempat pendidikan politik kebangsaan dan sebagai pengajarnya dipilih beberapa tokoh seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soenario, Mr. Ahmad Soebarjo, MZ Djambek, Mr. Dayoh, Dr. Muwardi, sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara dan Mr. Amir Sjarifoeddin. Selain tokoh Pergerakan Nasional sebagai pengajar, pihak Jepang juga ikut terlibat menjadi tenaga pengajar (Prof. Nakatani, H. Shimizu dan Prof. Bekki).

Menteng 31, tempat merancang berbagai aksi
Gedung Menteng 31 merupakan tempat merancang berbagai aksi dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Para pemuda pergerakan pada waktu menggunakan gedung Menteng 31 sebagai pusat kegiatan menuju kemerdekaan, termasuk salah satunya adalah rencana membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk melakukan Proklamasi Kemerdekaan sesegera mungkin.

Setelah proklamasi kemerdekaan, berbagai macam aksi juga dibentuk di gedung ini melalui Komite van Aksi yang dibentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh 11 tokoh, yaitu Sukarni, Chaerul Saleh, AM. Hanafi, Wilkana, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Armunanto, Maruto Nitimihardjo Kusnaeni dan Djohar Nur. Berbagai aksi dari komite ini yaitu mendesak agar dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), PETA dan Heiho dijadikan Tentara Rakyat Indonesia (TRI), pembentukan beberapa organisasi pemuda seperti Barisan Pemuda, Barisan Buruh dan Barisan Tani. Barisan Pemuda ini kemudian menjelma menjadi Angkatan Pemuda Indonesia (API). Komite ini juga memprakarsai terjadinya peristiwa Rapat Raksasa Ikada yang bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dan lepas dari pengaruh penjajahan. Akibat mempelopori Rapat Raksasa tersebut, sejumlah pemuda Menteng 31 seperti AM Hanafi, Darwis, DN Aidit, Manaf, Roni, Sidik, Kertapati, MH Lukman, Wahidin Nasution dan Adam Malik ditangkap tentara Jepang.



FOTO PATUNG WIKANA & DR. SYARIF THAJEB

Ada juga beberapa informasi tentang profil tokoh-tokoh seperti Sukarni, Chaerul Saleh, AM Hanafi dan Adam Malik.

FOTO PERTEMPURAN LAUT JAWA & PERISTIWA BELANDA MENYERAH KEPADA JEPANG


Belanda Menyerah Tanpa Syarat Kepada Jepang
Tanggal 28 Februari 1942, Tentara ke 16 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di tiga tempat di Jawa – Banten, Eretan Wetan dan Kragan dan segera menggempur pertahanan tentara Belanda. Setelah merebut Pangkalan Udara Kalijati, Letnan Jenderal Imamura membuat markasnya di sana. Pada 08 Maret 1942, Imamura memberikan ultimatum kepada Belanda, bahwa apabila tidak menyerah, maka tentara Jepang akan menghancurkan seluruh tentara Belanda dan sekutunya.

Pada 09 Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India-Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara Pemerintah India Belanda dengan pihak tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura. Imamura menyatakan bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

Dipajang juga foto-foto peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di mana pasukan lintas udara Belanda diterjunkan di lapangan terbang Maguwo Yogyakarta pukul 06.00 pagi. Tidak hanya itu, ada juga foto-foto tentang peristiwa pemusatan Tentara Keamanan Rakyat, Resimen VI yang awalnya di kota Jakarta dipindahkan ke Cikampek dengan tujuan untuk menciptakan kota Jakarta menjadi kota Internasional, yang ditetapkan pada Maklumat Pemerintah tanggal 19 November 1945.

Selain itu terdapat perlengkapan Tentara Pelajar TRIP yang memiliki lambang tengkorang (seperti bajak laut, dan menurut saya KEREN SEKALI!!! Heheheee)





Ada penjelasan tentang Persetujuan Linggarjati (hayooo, siapa yang dulu waktu SMA nyimak pelajaran sejarah? Saya sih nggak. Hahahaaa), dan akan saya jelaskan di sini.

Mulai tanggal 22 Oktober 1946 di Jakarta berlangsung perundingan Indonesia-Belanda untuk penyelesaian konflik dan guna mencapai penyelesaian. Tanggal 11 November 1946, perundingan dilanjutkan di desa Linggarjati Kuningan Jawa Barat. Untuk isi Perjanjian Linggarjati, dapat dilihat di sini (klik).

Setelah melalui persidangan alat pada masing-masing parlemen, akhirnya naskah persetujuan Linggarjati ditandatangani tanggal 25 Maret 1947 di istana Rijswijk Jakarta (sekarang istana negara).

Tetapi Belanda melanggar perjanjian tersebut (licik ya…) akhirnya meletuslah Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947) karena Belanda mengambil alih pusat ekonomi (perkebunan dan minyak bumi) di Sumatera & Jawa dan Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948 di Yogyakarta).

Pada tanggal 08 Desember 1947 dimulailah perundingan Indonesia – Belanda pasca aksi polisionil pertama (klik ini) dengan bertempat di atas kapal perang angkatan laut Amerika Serikat, USS Renville, yang dihadiri oleh Mr. Amir Sjarifudin perdana menteri RI. Hasil Persetujuan Renville baru terlaksana pada tanggal 17 Januari 1948, hasil Persetujuan Renville dapat dikatakan kemunduran, karena wilayah RI menjadi lebih sempit. Klik ini, untuk Isi Persetujuan Renville.

FOTO KAPAL USS RENVILLE

Setelah Persetujuan Renville ditandatangani, dilaksanakanlah gencatan senjata di daerah perbatasan Indonesia – Belanda di Jawa Barat, Jawa Timur dan sebagian wilayah di Sumatera. Semua pelaksanaan gencatan sejata di daerah konflik ditengahi dan diawasi oleh anggota komisi militer dari Komite Tiga Negara (KTN) (klik ini).

KONFERENSI MEJA BUNDAR
Bertempat di Ridder Zaal Den Haag tanggal 23 Agustus 1949, Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees secara resmi membuka Konferensi Meja Bundar (KMB). Dr. Drees yang diangkat sebagai ketua konferensi ini dalam sambutannya antara lain berkata: “Jika pihak Indonesia dapat memulai konferensi ini dengan penuh keyakinan, maka soal pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat dan penyerahan kedaulatan, bagi Belanda merupakan hal yang tidak dapat diingkari lagi”. Oleh karena itu diharapkan agar pihak Indonesia benar-benar menciptakan landasan kerja sama yang langgeng dengan Belanda demi tercapainya keberhasilan kedua pihak.

Konflik Indonesia – Belanda yang berakhir dalam KMB ini tidak hanya menyelesaikan konflik kedua negara dan bangsa, tapi juga menyelesaikan konflik di antara bangsa Indonesia sendiri.




FOTO-FOTO POSTER PROPAGANDA JEPANG

MASA PENDUDUKAN JEPANG
Kenangan pahit pada masa penjajahan Belanda belum sirna di hati rakyat Indonesia. Selama kurang lebih 350 tahun kekejaman, kekerasan dan kesewang-wenangan masih membekas dalam benak pikiran rakyat Indonesia. Tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itulah pendudukan Jepang di Indonesia dimulai. Jepang dengan propagandanya sebagai saudara tua berusaha meyakinkan bangsa Indonesia sebagai saudara muda yang harus membantu Jepang sebagai saudara tua dalam Peperangan Asia Timur Raya (klik ini).

Dengan propaganda tersebut rakyat Indonesia disiapkan oleh Jepang untuk membantu Jepang dalam menghadapi Sekutu dalam Peperangan Asia Timur Raya, rakyat dipaksa menjadi tenaga kerja sukarela atau romusha. Ratusan ribu penduduk dipaksa bekerja untuk membangun fasilitas militer dan sipil di seluruh Indonesia, bahkan ada yang dikirim ke Burma, Indo Cina dan bahkan di Pasifik untuk bekerja membangun fasilitas fisik dan militer. Selain itu rakyat diminta menyerahkan panen berasnya kepada pemerintah militer Jepang untuk memenuhi kebutuhan logistik perangnya, sehingga beras menjadi langka dan banyak rakyat yang kelaparan. Meski demikian ada sisi positif ketika Jepang membentuk barisan-barisan bersenjata untuk mendukung Jepang dalam peperangan Asia Timur Raya. Para pemuda dibekali latihan kemiliteran dan penggunaan senjata seperti Heiho, Giyugun, tentara PETA (Pembela Tanah Air).


Di lemari pajangan terdapat 3 bilah replika Samurai – Gunto yang diserahkan Jepang kepada Sekutu di Kupang yang berarti penyerahan kekuasaan kepada sekutu. Dipajang juga Seragam tentara PETA, dimana nantinya PETA sebagai cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Ada kain BAGOR (seperti kain karung goni), kain yang digunakan masyarakat menengah ke bawah pada masa kolonial Jepang. Kain yang terbuat dari serat Bagor (sejenis tanaman pisang-pisangan) yang dibuat masyarakat dalam kondisi sulit memperoleh benang katun untuk pakaian.

Pada masa perjuangan kolonial Jepang, tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu:

  1. Kelompok ANTI FASISME JEPANG: Supriyadi, Amir Syarifudin, KH. Zaenal Mustafa dan Sutan Sjahrir
  2. Kelompok PETA (Pembela Tanah Air): Sudirman, Kasman Singodimedjo, Latief Hendraningrat, AH. Nasution dan Soeharto
  3. POETRA (Poesat Tenaga Rakyat): Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas Mansyur (mereka juga dikenal sebagai “Empat Serangkai”)
  4. Kelompok KAIGUN: Wikana, Ahmad Subardjo dan AA. Maramis
  5. Kelompok MENTENG 31: Sukarni, Chairul Saleh, AM. Hanafi, Adam Malik, Yusuf Kunto, Pandu Kartowiguna dan Maruto Mitomihardjo






MEMORABILIA ABDUL LATIEF HENDRANINGRAT

PEMBENTUKAN TENTARA PEMBELA TANAH AIR (PETA)
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), merupakan pasukan yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang, tanggal 03 Oktober 1943 berdasarkan Osama Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16 Letnan Jendral Kumakichi Harada. Pendidikan tentara PETA dipusatkan di Bogor yang diberi nama Jawa Boei Giyûgun Kanbu Resentai (kini Museum PETA (oke nanti ke sini, hahahaaa)).

FOTO MINI DIORAMA LASWI
LASWI (Laskar Wanita Indonesia) yang berperan menolong korban perang, dan mereka dibekali kemampuan berperang.



FOTO MINI DIORAMA RAPAT RENGASDENGKLOK
Peristiwa Rengasdengklok terjadi dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dan tua tentang masalah kapan dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Golongan muda membawa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok dipilih karena menurut perhitungan militer, tempat tersebut jauh dari jalan raya Jakarta – Cirebon.

PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Pada subuh 16 Agustus 1945, Bung Karno, Bung Hatta, Ibu Fatmawati dan Guntur (bayi) diamankan para pemuda, yang didukung pasukan PETA pimpinan Syodancho Singgih, menuju Rengasdengklok. Tujuannya untuk mendesak DWITUNGGAL menyelenggarakan proklamasi sekarang juga sekaligus mencegah penangkapan mereka oleh pihak Jepang. Selama di Rengasdengklok, rombongan yang diamankan ini menempati rumah Giau I Siong atau (klik ini). Dan seketika saya jadi teringat film SOEKARNO (2013) yang dibintangi oleh Ario Bayu (klik ini)


FOTO PERUMUSAN TEKS PROKLAMASI
Perumusan teks Proklamasi menjadi awal bangsa Indonesia memasuki pintu kemerdekaan. Teks Proklamasi tersebut dirumuskan oleh para tokoh bangsa dengan satu tujuan, yaitu untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia. Rumusan yang hanya terdiri dari beberapa baris itu menjadi pertanda bahwa bangsa Indonesia telah merdeka.

PENYUSUNAN NASKAH PROKLAMASI
Di malam menjelang 17 Agustus 1945, di rumah Laksamana Maeda (sekarang Museum, dan nanti akan saya bahas juga) di Jl. Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Wakil dari golongan pemuda, Chaerul Saleh dan Sukarni bertemu para anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (klik ini)). Di sana telah hadir juga Mr. Subardjo, Sutardjo Kartohadikusumo, Mr. Teuku Moh. Hasan, Mr. Latirharhary, Dr. Radiman, Dr. Amir, Yusuf Kunto, Dr. GSSJ Ratulangi, Mr. I.G. Ketut Pudja, Otto Iskandardinata, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Abbas, Andi Pangeran , K. Gunadi, Semaun, Sajuti Melik, BM Diah, Prof. Dr. Supomo, Dr. Samsi, Dr. Buntaran, Andi Sultan, Hamidan dan AR Ripai.

Karena PPKI dianggap berbau Jepang, maka Bung Karno mengatakan: “Rapat ini bukan rapat PPKI, tapi adalah rapat wakil-wakil bangsa Indonesia”.

Setelah teks proklamasi tersusun, terjadi perbedaan dan pengatasnamaan teks proklamasi, Bung Karno menginginkan semua yang hadir menandatangani. Lalu menurut Chaerul Saleh yang sempat menanyakan kepada BM Diah mengusulkan agar Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia.

Teks Proklamasi lalu diketik oleh Sayuti Melik, lalu teks hasil tulisan tangan yang dibiarkan terletak di meja, disimpan oleh BM Diah.

Pembacaan Proklamasi yang direncanakan di lapangan IKADA terpaksa dibatalkan karena telah diketahui oleh tentara Jepang. Pembacaan Proklamasi pun dilaksanakan di Pegangsaan Timur 56, kediaman Bung Karno dan keluarga, tepat pukul 10.00 WIB.

Pembacaan naskah proklamasi dilanjutkan dengan pengibaran Sang Saka Merah Putih (oleh Abdul Latief Hendraningrat dan H.R. Suhud) dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.


APEL PEMUDA MENTENG 31
Perna markas Menteng 31 punya pengaruh yang cukup signifikan dan luas ketika revolusi kemerdekaan dimulai dan dalam perkembangannya tidak hanya menjadi markas pergerakan pemuda, tetapi juga markas buruh, petani, seniman dan massa lainnya.

Kegiatan pemuda-pemuda dari Menteng 31 pasca proklamasi ingin segera merebut kekuasaan dari Jepang sebagai perwujudan dari istilah “…pemindahan kekuasaan dan lain-lain” dalam teks proklamasi namu karena mereka tidak sabar menunggu tindakan dari “kelompok tua” (Bung Karno dan Bung Hatta), maka terjadilah peristiwa pengambil-alihan Stasiun Djakarta-Manggarai sebagai bentuk pengambil-alihan kekuasaan pertama dari Jepang.


FOTO BUNG KARNO PIDATO
Bung Karno sedang berpidato di atas podium di lapangan IKADA, dalam rangka memperingati satu bulan kemerdekaan Republik Indonesia.


FOTO API
API (Angkatan Pemuda Indonesia) dibentuk oleh para pemuda Menteng 31 yang diketuai oleh Wikana dengan wakilnya Chairul Saleh. Pada saat rapat pembentukan API ini hadir pula Aidit, Parjono, AM. Hanafi, Kusnandar, Djohar Nur dan Cholid Rasjidi.


PERTEMPURAN CONTONG SURABAYA
Pasukan TNI dan Masyarakat Surabaya bertempur melawan tentara Belanda yang menggunakan Tank Baja menghadang terus dengan persenjataan apa adanya.

PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945
Setelah gencatan senjata Antara Indonesia dan tentara Inggris ditandatangani 29 Oktober 1945 (klik ini), keadaan berangsur mereda. Namun tetap saja terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris yang memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (klik). Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris mengultimatum pihak Indonesia untuk menghentikan perlawanan, meletakkan senjata dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan dengan batas waktu jam 06.00 tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut ditolak karena dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat Indonesia. Pada 10 November 1945 pagi, Inggris membombardir Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar sampai tiga minggu di seluruh kota, dengan bantuan aktif dari penduduk, sebelum seluruh kota akhirnya jatuh. Setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang dari pihak Indonesia gugur dan 200.000 rakyat sipil mengungsi. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira berjumlah 600 – 2.000 tentara.


PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada tanggal 24 Maret 1946. Satu hari sebelumnya yaitu tanggal 23 Maret 1946 NICA (klik) dan Inggris mengultimatum TRI (Tentara Republik Indonesia) untuk mundur sejauh 11km dari pusat kota dalam waktu 24 jam saja. Pada saat itu Bandung terbagi menjadi dua wilayah. Wilayah utara dikuasai oleh sekutu dan NICA, sebelah selatan dikuasai oleh TRI pimpinan Kolonel AH. Nasution (Komandan Divisi III) untuk menuruti perintah pemerintahan RI pusat agar segera meninggalkan kota. Rakyat mengungsi meninggalkan harta benda, hanya membawa barang seadanya dan Bandung siap dikosongkan. Pengosongan ini disertai dengan pembakaran kota. Hal ini dilakukan agar sekutu tidak dapat memanfaatkannya.

PEMBETUKAN TENTARA KEAMANAN RAKYAT
Pada tanggal 05 Oktober 1945 muncul maklumat Pemerintah RI yang berbunyi: “Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat. Anggota TKR berasal dari eks-tentara di bawah pendudukan Jepang sepeti PETA dan HEIHO serta pemuda-mahasiswa yang telah dididik dasar paramiilter. Pada tanggal 15 November 1945 bertempat di lapang terbang Maguwo Yogyakarta dimulai pendidikan penerbangan Indonesia di bawah Markas Besar TKR-Oedara pimpinan Komodor Suryadarma. Fasililtas pendidikannya amat sederhana, berupa pesawat dwi-sayap peninggalan Jepang. Pada 18 November 1945 didirikan Akademi Militer di kota Tangerang Jawa Barat. Mayor Daan Mogot ditunjuk sebagai Direktur Akademi.

AGRESI MILITER BELANDA I
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama yang diberi nama Aksi Polisionil Pertama (klik). Dengan pasukan yang memiliki fasilitas militer modern sebagian pulau Jawa dan Sumatera diduduki.


FOTO TANDU JENDERAL SUDIRMAN

FOTO ORDER OF THE AZTEC EAGLE (TANDA KEHORMATAN DOKTER PRIBADI BUNG KARNO)
Tanda Kehormatan Bintang Utama yang diterima dr. H. Soeharto dari Presiden Meksiko, Don Adolfo Lopez Mateos saat berkunjung ke Indonesia tahun 1962.


Replika kendaraan yang dipakai oleh Ir. Soekarno (Mobil Rep-1) dan yang dipakai oleh Drs. Moh. Hatta (Mobil Rep-2) untuk kendaraan aslinya ada di ruangan khusus (di belakang) yang masih satu area dengan Gedung Joang '45. Bagian akhir artikel ini akan dijelaskan tentang informasi mobil-mobil ini.





Sosok DWITUNGGAL Soekarno-Hatta

DIPLOMATIC STRUGGLES
Pihak Inggris yang menyadari bahwa kekuatan pihak Republik yang cukup kuat, memberikan rekomendasi kepada pemerintah Belanda di Indonesia yaitu NICA (klik) untuk melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Indonesia. Belanda akhirnya bersedia mengadakan perundingan dengan pihak Republik Indonesia yang diwakili oleh Perdana Menteri Syahrir yang terpilih sebagai Perdana Menteri pada bulan November 1945. Syahrir mengubah sistem pemerintahan Presidentil mejadi Perlementer dengan mengubah Kominte Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Lembaga Legislatif. Perundingan ini yang kemudian diselenggarakan di Linggarjati, Kuningan Jawa Barat pada bulan November 1945 hasilnya sangat menguntungkan Belanda, karena wilayah de facto RI hanya meliputi Sumatera, Jawa dan Madura saja, persetujuan membentuk Republik Serikat dengan RI sebagai salah satu negara bagiannya dan menjadikan ratu Belanda sebagai pemimpin simbolis Uni Indonesia-Belanda. Perjanjian ini kemudian disetujui oleh kabinet Syahrir pada bulan April 1947. Namun pihak-pihak yang tidka setuju kemudian melakukan upaya penggantian Perdana Menteri Syahrir. Sehingga muncullah kekuatan-kekuatan Amir Syarifudin yang kemudian menggantikan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Pada saat yang sama pihak Belanda membantu pendirian banyak negara-negara bagian di Indonesia, seperti Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Timur dan lain-lain. Hal ini semakin memperlemah kekuasaan pemerintah RI di Yogyakarta.


KRONOLOGI PERJUANGAN DIPLOMASI RI

1945
17 Oktober, Van Mook mengirim telegram kepada Pemerintah Belanda bahwa [erundingan dengan Indonesia ditolak.
23 Oktober, Van Mook mengadakan pertempuran informasi dengan Sukarno.
29 Oktober, Sukarno dan Jenderal Mallaby sepakat gencatan senjata.
30 Oktober, Sukarno, Hatta, Mallaby dan Hawthorn menandatangani kesepakatan Gencatan Senjata.
23 November, Menteri Luar Negeri Inggris, Bevin meminta Belanda-RI untuk berunding.

1946
Januari, Isu Indonesia berkembang di PBB untuk pertama kalinya.
10 Februari, Van Mook mengirim proposal Kerjasama Indonesia-Belanda.
14 April, perwakilan Belanda-Indonesia memulai perundingan di Hoge Veluwe. Pembicaraan lanjutan antara pemerintah Syahrir dan Belanda di Linggarjati.
14 Oktober, perjanjian gencatan senjata ditandatangani di Linggarjati.

1947
25 Maret, Pemerintah Belanda meratifikasi persetujuan Linggarjati.
25 Maret, Mesir dan Siria mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
8 Juli, Kabinet Amir Syarifuddin menawarkan konsiliasi kepada Belanda.
20 Juli, Agresi Militer Belanda I, Belanda menguasai Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Semarang, Medan, Palembang dan Padang.
24 Juli, 20.000 orang berdemonstrasi anti-Perang di Amsterdam. AS dan Inggris tidak menyetujui dengan Aksi Belanda; India, Australia dan Uni Soviet mendukung RI di PBB; Australia memboikot kepal Belanda.
1 Agustus, Dewan Keamanan (DK) PBB menyerukan gencatan senjata. Gencatan senjata disepakati, Belanda deklarasikan garis Van Mook.
8 Desember, Delegasi Belanda-Indonesia berunding di Kapal USS Renville.

1948
17 Januari, Penentuan Batas Gencatan Senjata di bawah pengawasan PBB.
23 Januari, Sukarno menunjuk Hatta memimpin Kabinet Darurat.
18 Desember, Belanda membatalkan Persetujuan Renville.
19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer II, Yogya berhasil dikuasai; Pemerintah Darurat RI dideklarasikan di Bukittinggi; Surat kabar Amerika mempublikasikan editorial yang menentang agresi Belanda; PBB memperingatkan Agresi Belanda, saat Delegasi PBB berada di Kaliurang. 19 Negara Asia memboikot Belanda.
24 Desember, DK-PBB menyerukan penghentian permusuhan.
31 Desember, Belanda menerima seruan PBB untuk gencatan senjata di Jawa.

1949
5 Januari, Belanda menerima seruan PB untuk gencatan senjata di Sumatera.
28 Januari, DK-PBB meminta pembebasan para pejabat RI.
7 Mei, “Persetujuan Roem-Royem”: Belanda sepakat untuk mengembalikan Pemerintah RI ke Yogja berdasarkan “Persetujuan Renville”.
6 Juli, Pemerintah RI kembali ke Yogja.
23 Agustus, Konferensi Meja Bundar (KMB) dimulai di Den Haag.
2 November, “Persetujuan Den Haag” hasil perundingan KMB ditandatangani.
19 Desember, Pelantikan Ir. Sukarno sebagai President RIS di Yogyakarta.
27 Desember, Belanda secara formal menyerahkan kedaulatan kepada RIS.
28 Desember, Presiden Sukarno kembali ke Jakarta.

KRONOLOGI MENUJU NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

1948
29 Januari, Jenderal Sudirman meninggal di Magelang pada usia 34 tahun dan dimakamkan di Semaki, Yogyakarta.
31 Januari, Belanda membentuk Negara Madura.
8 Juli, Perwakilan dari 15 negara bentukan Belanda menyelenggarakan konferensi di Bandung, untuk menyusun proses pembentukan RIS.
26 November, Belanda membentuk Negara Jawa Timur.
19 Desember, Para anggota terpilih di Negara Indonesia Timur melakukan voting untuk mengutuk Agresi Militer.

1949
6 Juli, Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Juli, Negara-negara bentukan Belanda menyelenggarakan konferensi untuk mendukung bergabung ke RIS.
2 November, Hasil Persetujuan Den Haag, RIS terdiri dari RI dan 15 negara bentukan Belanda.

1950
9 Februari, Negara Pasundan membubarkan diri.
9 Maret, Negara Sumatra Selatan, Madura dan Jawa Timur membubarkan diri dan bergabung dengan RI.
4 April, RIS mengambil alih Negara Kalimantan Barat.
5 April, Andi Aziz, mantan KNIL, menguasai Makasar. Tentara Republik bentrok dengan Tentara pro-Belanda.
April, Minahasa memisahkan diri dari NIT, bergabung dengan RI.
18 April, Angkatan Perang RIS mengambil alih Ujung Pandang.
25 April, Proklamasi Republik Maluku Selatan di Ambon.
Mei, NIT menyatakan membubarkan diri dan bergabung dengan RI pada tanggal 17 Agustus 1950.
Juli, Gerakan RMS dihancurkan, sisa-sisa pertempuran di Ambon dan Buru berlangsung hingga November.
20 Juli, KNIL, Angkatan Perang Hindia Belanda secara resmi dibubarkan.
17 Agustus, Konstitusi baru RI mencakup wilayah RI sebelumnya, Negara Sumatra Timur dan Negara Indonesia Timur. Tidak ada lagi RIS.

PERJUANGAN MENUJU NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Setelah gagalnya kudeta Westerling dan terbongkarnya konspirasi Belanda untuk menyembunyikan dan “melarikan” Westerling ke Singapura, pimpinan RIS tidak lagi mempercayai niat baik Belanda.

Di beberapa Negara Bagian RIS timbul kemarahan rakyat dan pergolakan rakyat tak dapat dicegah oleh pemerintah-pemerintah bentukan Belanda.

Beberapa Negara Bagian kemudian dipaksa oleh rakyatnya untuk membubarkan diri atau dibubarkan secara paksa oleh rakyatnya, sehingga pada bulan April 1950, hanya tinggal 3 Negara Bagian RIS yang tersisa, yaitu Indonesia, Negara Sumatra Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT).

Dengan persetujuan NST dan NIT, pada 19 Mei 1950 Pemerintah Indonesia (RI) di bawah pimpinan Mr. Assaat Datuk Mudo mengadakan perundingan dengan Pemerintah Indonesia Serikat (RIS). Dicapai kesepakatan untuk kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada 12 Agustus 1950, KNIP Indonesia menyetujui Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara NKRI yang telah disusun oleh panitia bersama dan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Undang-Undang Dasar Sementara untuk NKRI. Tanggal 15 Agustus, Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RIS Soekarno.

Demikian juga dengan Mr. Assaat Datuk Mudo (Pemangku Jabatan Presiden Indonesia) yang menyerahkan mandatnya kepada Presiden RIS. Setelah itu Presiden RIS Soekarno menyatakan pembubaran Indonesia Serikat dan pada 17 Agustus 1950, Ir. Soekarno mengumumkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.





MEMORABILIA VAN DEN BOS
Van Den Bos adalah salah seorang anggota tentara KL yang ikut dalam misi Politionel Actie di Indonesia.

  • Tanda Pangkat Belanda
  • Kaus Kaki Tentara
  • Botol Air Militer
  • Selendang Batik Sutra
  • Majalah dari Grenadeers Belanda “de Granaat”
  • Sarung Pistol Pinggang
  • Skill at Arms Record Book

Sumbangan dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda







PERLENGKAPAN DINAS MayJend Prof Dr R MOESTOPO
Tanda Pangkat dan Topi Pet ini merupakan atribut kelengkapan Pakaian Dinas Harian (PDH) yang dimiliki Bapak Moestopo pada saat beliau menjadi Perwira Tinggi di TNI Angkatan Darat. Dipakai untuk tugas harian dan pada saat mengikuti upacara-upacara baik skala nasional maupun internal TNI.

PAKAIAN Dr R. Moestopo
Pakaian harian MayJend Prof Dr R Moestopo yang digunakan pada saat penyamaran:

  • Baju Lurik
  • Sarung kotak-kotak
  • Kopiah Hitam


VANDEL INDONESIA MUDA
Digunakan sebagai lambang perkumpulan Indonesia Muda pada masa kebangkitan nasional (1908) yang mewakili kaum Jawa dengan lambang keris di tengah dan cahaya di kiri dan kanannya. Koleksi replika dari Museum Sumpah Pemuda.

BAMBU RUNCING
Ketika armada Jepang mendekati pulau Jawa akhir Februari 1942, Belanda mengira akan menerjunkan pasukan payung di Kalijati, maka diperluaslah ribuan bambu yang diruncingkan unjungnya untuk menyambut pasukan para Jepang. Ternyata Jepang mendarat di pantai laut dekat Eretan, langsung menuju Subang dan mengancam Kalijati.
Ribuan bambu tadi justru dijadikan alat latihan baris-berbaris para pemuda Seinendan, Keibodan, Gakutotai, Hizbullah, dll.
Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dipergunakan oleh para pejuang untuk melawan musuh. Dr. R. Moestopo membakar ujungnya sampai hangus dan dimasukkan ke dalam kotoran kuda untuk menakuti musuh.
Biasanya di ujung runcing diikatkan kain dua warna, merah-putih.

FUTONG – Bom Buatan TGP (Tentara Genie Pelajar). Banyumas, 1948 – 1949

PEDANG KOMANDO – Digunakan sebagai perlambang kepemipinan dalam upacara-upcara resmi kemiliteran pada masa kolonial Belanda. Pedang ini digunakan sebagai senjata pada saat Perjuangan Bersenjata melawan pasukan Sekutu dan NICA.

BOM MOLOTOV – Molotov adalah sebuah bom yang terbuat dari sebuah botol yang biasa diisi oleh bensin diberikan sumbu. Bom ini hanya memberikan efek terbakar karena sebelum dilemparkan, bom sumbu dibakar terlebih dahulu. Meski sederhana, senjata ini cukup ampuh baik dalam perang khususnya di kalangan gerilyawan bahkan model disesuaikan dengan aslinya yang berada di Museum Perjuangan Bogor.

ANGGAR BAMBU – Sejata tiruan dari bambu, digunakan sebagai sarana latihan Laskar Putri dalam pendidikan keprajuritan untuk menggunakan senjata tajam dalam pertempuran.





MENGUNGSI KE WILAYAH REPUBLIK INDONESIA
Sebagai dampak hasil Perundingan Renville, rakyat yang pro Republik Indonesia mengungsi. Mereka yang berada di sebagian Jawa Barat dan Jawa Timur mengungsi ke Wilayah Republik di Jawa Tengah. Untuk itu dibentuklah panitia pengungsi. Pengungsi yang tiba didata dan diberikan bantuan untuk penempatan di masing-masing wilayah yang sudah ditentukan. Pada umumnya mereka yang mengungsi adalah pegawai sipil dan militer RI. Sebaliknya rakyat yang Pro-Belanda terutama anggota keluarga KNIL pindah dari daerah Republik ke Jakarta.

PEMERINTAH RI DALAM KONDISI NORMAL DAN DARURAT
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, administrasi pemerintah berjalan lancar. Transportasi, komunikasi, listrik, air minum, gas, pendidikan dan kesehatan semua dapat dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah RI.


Replika Rumah Kediaman Bung Karno – Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat



WANITAPUN BISA IKUT BERTEMPUR
Partisipasi wanita pejuang khususnya dalam kegiatan pendukung seperti Palang Merah, perawat, maupun bagian konsumsi tidak disangsikan lagi. Namun tidak sedikit dari mereka yang secara penuh aktif di medan tempur.




KAIN PEJUANG LASKAR PUTRI – Kain yang dimiliki oleh salah satu pejuang Laskar Putri, Ibu Sukasih Lasmi: Kain Panjang Coklat & Kain Selendang Rulih Biru/ Putih Kembang.

BAJU LASKAR PUTRI SOLO PALANG MERAH – Laskar Putri Indonesia (LPI): Pejuang wanita yang membuktikan keberanian dan rela mempertaruhkan nyawa ketika mengangkat dan menolong korban di medan laga. Bahkan pengiriman korban perang ke rumah sakit kadang tanpa pengawalan dan kerap diganggu musuh.

PALANG MERAH TASIKMALAYA – Palang Merah Putri yang dipimpin oleh Ibu Arudji









LUKISAN PEROBEKAN BENDERA BELANDA DI HOTEL YAMATO – Dengan kemarahan Arek-Arek Surabaya mereka naik di atas gedung hotel dan merobek bendera Belanda menjadi Bendera Merah Putih, tahun 1945.







MOBIL REP-1
Mobil sedan limosin merk Buick buatan Amerika tahun 1939, merupakan mobil kepresidenan pertama yang dimiliki pemerintah Indonesia dan digunakan oleh Ir. Soekarno dalam menjalankan tugas sebagai Presiden RI. Pada saat pusat pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta mobil Rep-1 dibawa serta.
Pada mulanya mobil Rep-1 milik Departemen Perhubungan bangsa Jepang dan mobil terbagus di Jakarta tahun 1945. Mobil ini diparkir di belakang kantor Departemen Perhubungan (saat ini Direktorat Perhubungan Laut, Jl. Merdeka Timur Jakarta). Ketika didekati oleh Sudiro (anggota baisan banteng), supir mobil tersebut sedang duduk dekat mobil, Sudiro yang kemudian meminta mobil tersebut secara diplomasi. Lalu mobil itu dibawa ke Pegangsaan Timur No. 56 dan diserahkan kepada Bung Karno sambil berkata: “ini mobil yang pantas dipakai untuk Presiden RI”. Kemudian pada tanggal 19 Mei 1979 mobil ini diserahkan oleh Kepala Rumah Tangga Presiden kepada Dewan Harian Nasional 45 untuk dijadikan koleksi Museum Joang 45 yang berada di Jl. Menteng Raya 31 Jakarta.



MOBIL REP-2
Mobil ini pada mulanya digunakan oleh perusahaan yang bernama Djohan Djohor, milik seorang pengusaha yang merupakan paman dari Moh. Hatta, dengan maksud untuk membantu mobilisasi perjuangannya dan juga menghindari perampasan dari pihak Militer Jepang. Mobil Rep-2 itu tetap dipergunakan oleh Bung Hatta didalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sebagai presiden. Kemudian waktu pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta , mobil tersebut juga turut serta mendampingi Bung Hatta di sana. Pada waktu pemerintahan RI kembali ke Jakarta tidak ketinggalan Mobil Rep-2 ini kembali ke Ibukota diangkut dengan kereta api. Akhirnya pada tanggal 20 Agustus 1975 oleh Bung Hatta mobil tersebut diserahkan kepada DHN Angkatan 45 untuk dijadikan koleksi Museum Joang 45.


Komentar