Langsung ke konten utama

Planetarium & Observatorium Jakarta

Oktober 2018

Masih di sekitar daerah Cikini dan Menteng, Jakarta. Kali ini saya membahas tentang Planetarium Jakarta (sebenarnya sih saya ingin mengunjungi Bosscha, Bandung, heheheeeee. Ya sudah ke Jakarta saja dulu). Sebelum membahas tentang tempatnya, saya beri penjelasan tentang sejarah tentang Planetarium & Observatorium Jakarta.

SEJARAH PLANETARIUM & OBSERVATORIUM
Salah satu tonggak sejarah dalam dunia IPTEK di Indonesia khususnya dalam bidang ilmu Astronomi adalah dibangunnya Planetarium Jakarta yang digagas oleh Presiden RI pertama yaitu Ir. Soekarno (Bung Karno) dengan dukungan para pakar keastronomian Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bertujuan agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dalam persaingan IPTEK keantariksaan khususnya astronomi, sehingga dapat mengungguli negara-negara tetangga (ASEAN), dan beliau berharap agar masyarakat Indonesia tidak lagi mempercayai takhyul yang terkait dengan fenomena astronomi. Gagasan ini kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden RI No. 155 Tahun 1963 dan ditandatangani pada tanggal 26 Juli 1963.

Pembangunan gedung Planetarium dan Observatorium mulai dibangun pada tanggal 09 September 1964 dengan bantuan dana dari GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang bertempat di Cikini Raya 73 Jakarta Pusat, dimana pemancangan tiang pertama dilakukan langsung oleh Bung Karno.

Pembangunan gedung proyek Planetarium dan Observatorium selesai pada tanggal 10 November 1968 dan diresmikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang saat itu dijabat oleh Bapak Ali Sadikin bersamaan dengan peresmian Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, sedangkan pemutaran perdana pertunjukan Planetarium dibuka untuk umum pada tanggal 01 Maret 1969 dengan menggunakan Proyektor Universal buatan perusahaan Carl Zeiss – Jerman, yang selanjutnya tanggal tersebut sebagai hari ulang tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta.

Pada tahun 1984 melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2209 Tahun 1984 melakukan perubahan status pengelolaan Planetarium dan Observatorium Jakarta, dari proyek Planetarium menjadi Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta dan berada di bawah Biro (BINTAL) Bina Mental dan Spiritual Provinsi DKI Jakarta.

Untuk kenyamanan pengunjung pada tahun 1996, gedung Planetarium dan Observatorium direnovasi sekaligus diadakan pemutakhiran peralatan yaitu dengan mengganti proyektor utama Universal dengan proyektor Universarium Model VII yang lebih canggih dan juga layar kubahnya diganti dengan yang baru, garis tengahnya dikurangi dari 23 meter menjadi 22 meter, lantai ditinggikan dan dibuat bertingkat, seluruh kursi dibuat menghadap kea rah selatan dan jumlahnya dikurangi dari 500 kursi menjadi 320 kursi serta dipadukan dengan audio visual sehingga menjadi pertunjukan teater bintang yang utuh.

Pada tahun 2002 melalui Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 118 tahun 2002, Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta berubah struktur organisasinya menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan berada di bawah Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta.

Dengan adanya kebijakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 yaitu penggabungan Dinas Pendidikan Dasar dan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi menjadi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, maka Keputusan Gubernur No. 43 Tahun 2010 tanggal 22 Februari 2010 dimana struktur organisasi dan tata kerja Planetarium dan Observatorium Provinsi DKI Jakarta berubah menjadi di bawah Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

Dengan berjalannya waktu, Planetarium dan Observatorium Jakarta terus bebenah diri untuk dapat menyajikan tayangan pengetahuan tentang astronomi atau keantariksaan dan diharapkan pada masa mendatang pelajar dan masyarakat umum dapat lebih terinovasi dalam IPTEK keantariksaan dan memahami konsep ruang waktu di alam semesta dengan segala isi dan dinamikanya.

---

Di ruang duduk (tunggu) bagian tengah, pengunjung dapat membaca informasi-informasi tentang satelit-satelit (baik satelit buatan atau satelit alami) yang mengitari planet-planet yang ada di Tata Surya.


Ada juga peralatan astronomi seperti teleskop dengan berbagai jenis dan baju astronot. Lukisan kegiatan astrologi pada zaman romawi dan kerajaan kuno eropa lainnya di pajang di area ini.




Masuk ke ruang pameran di Planetarium dan Observatorium ini GRATIS!!!, kecuali jika pengunjung ingin melihat Pertunjukan Teater Bintang harus membayar tiket sebesar Rp. 10.000/ orang (klik ini) pada jadwal-jadwal yang sudah ditentukan (klik).

Di lorong pintu keluar, kita disuguhkan gambar-gambar “cantik” 12 zodiak karya KAGAYA (The Zodiac) klik ini atau ini. Sehingga lorong ini bagus jika dijadikan tempat untuk berfoto selfie.









Di ruang pameran, pengujung dijelaskan tentang sejarah astronomi di Indonesia, mulai dari zaman kerajaan kuno hingga zaman pendudukan Belanda.





SEJARAH ASTRONOMI DI INDONESIA
Berabad-abad lampau ketika peradaban baru Indonesia dimulai, catatan turun menurun budaya Nusantara telah menunjukan berbagai kisah mengenai astronomi. Cerita-cerita budaya tentang langit memberi interpretasi (tafsiran) tersendiri terhadap obyek langit yang mereka lihat misalnya kisah Bulan Pejeng (Bali, klik ini, ini atau ini), Pasaggangan Laggo Samba Sulu atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua, klik), Manarmakeri (Papua, klik), Hala Na Godang (Batak, klik), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq, klik), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias, klik), Bima Sakti (Jawa, klik), Mula RilingĂ©’na Sangiang Serri’ (Bugis, klik ini, ini atau ini), Batara Kala (klik ini atau ini), Nini Anteh (Jawa Barat, klik).

Setiap interpretasi tidak sekedar memberi akan benda-benda langit, baik itu Bulan, Bintang, Matahari, Rasi Bintang, Bima Sakti, namun juga kisah tentang proses terjadinya alam semesta.

Benda-benda langit ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penentu waktu bercocok tanam, sarana pemujaan, kalender, maupun navigasi. Masyarakat Maritim Indonesia, menjadikan obyek langit sebagai panduan navigasi dalam pelayaran. Salah satu kisah yang diyakini merupakan bagian dari penggunaan langit sebagai navigasi adalah ditemukannya peninggalan berupa puisi dan gambar-gambar perjalanan masyarakat dari Indonesia menuju Afrika Selatan.

Kecintaan masyarakat Indonesia tentang langit memang disampaikan secara turun temurun lewat berbagai kisah tetapi pencatatan pengamatan pada masa lampau “belum ditemukan”. Akan tetapi catatan yang menjadi penanda awal kebangkitan astronomi dan penggunaan instrumentasi dalam pengamatan di Indonesia dimulai pada tahun 1761.

Tahun 800
Pembangunan Candi Borobudur (klik) menjadi penanda lainnya keberadaan astronomi di Indonesia. Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra diduga merupakan penanda waktu raksasa di abad ke-8, dimana stupa utama candi berfungsi sebagai penanda waktu. Pembangunan candi seperti Borobudur memberi penegasan dan petunjuk kemampuan nenek moyang dalam astronomi.

Tahun 1288
Masjid Saka Tunggal (klik) merupakan masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Songo yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288 Masehi sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid itu lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi.
Penggunaan astronomi secara praktis telah diterapkan dalam pembangunan masjid ini berdasarkan posisi Matahari menggunakan alat hitung kuno bernama Rubu’ Mujayyad untuk menghitung dan memprediksi arah Qiblat.

Tahun 1761
Setelah melalui kisah panjang Gerrit de Haan (Kepala Departemen Pemetaan) di Batavia dan Pieter Jan Soele (Kapten Kapal VOC) dan asistennya Johan Maurits Mohr penerjemah yang menerjemahkan peta pengamatan okultasi Venus (klik) dari Delisle yang menggunakan bahasa Perancis. Menggunakan dua reflektor Gregorian dengan focal length 45,72 cm dan 68,58 cm. Pengamatan tersebut dilakukan dari sebuah lahan super luas di dekat pantai di luar Batavia.
Mereka melakukan pengamatan transit Venus dan menerbitkan hasil pengamatannya tersebut pada tahun 1763 berjudul “Observations of The 1761 and 1769 Transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies)”.

Tahun 1765
Johan Maurits Mohr mulai membangun observatorium pribadi (klik ini) di Batavia dengan instrumen terbaik yang ada pada masanya, dan mulai melakukan pengamatan astronomi dan meteorologi. Gedung observatorium Mohr dibangun setinggi lebih dari 24 meter di lahan luas pinggir Molenvlie, Jakarta Barat. Pembangunan dimulai tahun 1765 dan selesai pada 1768.
Lima tahun kemudian, gempa bumi mengguncang Batavia dan menghancurkan observatorium Mohr. Catatan terakhir pada 1844, gedung itu hanya bersisa pondasi, sedangkan peralatan astronominya tersimpan di beberapa museum di Belanda.

Tahun 1769
Mohr melakukan pengamatan transit Venus dan transit Merkurius pada tanggal 10 November 1769. Dan kisaran di tahun 1770-an, kegiatan Mohr memberi inspirasi pada orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda untuk melakukan gerakan saintifik. Observatorium Mohr juga pernah dikunjungi Kapten James Cook dan Louis Antoine de Bougainville. Catatan pengamatan transit Venus dan Merkurius di tahun 1769 dipublikasikan dalam tulisan “Transitus Veneris & Mercurii in Eorum Exitu e Disco Solis, 4to Mensis Junii & 10mo Novembris, 1769” di Philosphcal Transactions pada 1 Januari 1771.
Oktober tahun 1775 Mohr meninggal dunia, Observatorium tersebut hancur dan hanya tinggal nama di awal abad 19. Nama Mohr sendiri diabadikan sebagai nama planet kecil 5494 Johan-Mohr yang ditemukan tahun 1933.

Tahun 1920-an
Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging/ NISV alias Perhimpunan Astronom Hindia Belanda merupakan gabungan intelektual astronom Belanda, ahli fisika dan para pecinta astronomi di Hindia Belanda, merasakan kebutuhan untuk mendirikan observatorium di Indonesia.
Bosscha Sterrenwacht dibangun dari tahun 1923 – 1928. Pendana utama dari Observatorium Bosscha adalah seorang tuan tanah di Malabar bernama Karel Albert Rudolf Bosscha dan seorang pengusaha bernama Ursone. K.A.R. Bosscha menyediakan teleskop refraktor ganda Zeiss dan refraktor Bamberg.
Sebagai penghargaan nama Karel Bosscha diabadikan sebagai salah satu nama planetoid yakni (11431) Karel Bosscha yang berada di antara Mars dan Jupiter ditemukan tahun 2007.

Tahun 1951
Pada mas berkecamuknya Perang Dunia II kegiatan observasi di Bosscha dihentikan, akibat dari perang menyebabkan hancurnya sebagian fasilitas Observatorium.
NISV (Perhimpunan Astronom Hindia Belanda) menyerahkan Observatorium Bosscha kepada pemerintah RI, yang kemudian menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung.
Tahun 1959 setelah ITB didirikan. Pada masa ini menjadi tonggak berdirinya pendidikan astronomi secara resmi di Indonesia yang ditandai dengan dikukuhkannya G.B. van Albada sebagai Guru Besar Astronomi. Pendidikan Astronomi di Indonesia saat ini bernaung di bawah Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung.

Tahun 1962
Pembentukan Panitia Astronautika pada tahun 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963. LAPAN dalam perkembangannya bergerak dalam hal teknologi kedirgantaraan juga untuk pemanfataan sains atmosfer, iklim dan antariksa.
Dalam perkembangan pengenalan astronomi di Indonesia lebih banyak diberikan dalam pendidikan kepanduan atau Pramuka. Pengenalan rasi bintang dan navigasi langit menjadi point penting yang membawa peserta didik untuk mengenal lebih dekat langit dan isinya. Sedangkan kelompok amatir yang menjadi wadah para pecinta astronomi memang belum ada sampai dengan era 80-an.

Tahun 1968 dan 1977
Planetarium Jakarta diresmikan sekaligus menjadi mercusuar pengenalan astronomi kepada publik di ibukota negara Indonesia.
Tahun 1977, dibentuk Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), bertujuan untuk menampung keinginan astronomi pro dan amatir di Indonesia sekaligus mendorong ketertarikan dan pengembangan astronomi bagi masyarakat Indonesia.

Tahun 1980-an
Mahasiswa Astronomi ITB membentuk beberapa kelompok pecinta astronomi untuk mewadahi penggemar Antariksa di Bandung. Di luar astronomi ITB, kelompok mahasiswa Fisika UPI membentuk himpunan pecinta astronomi.
Selain kelompok astronomi, masih ada beberapa klub astronomi di daerah yang dibasiskan klub daerah ataupun dari sekolah. Seperti halnya JAC dan CASA di Jogjakarta dan Solo yang aktif melakukan pengamatan untuk keperluan hilal maupun populerisasi masyarakat. Atjeh Astro Club yang terbentuk setelah observatorium Hilal di Aceh dibanding untuk keperluan pengamatan hilal di ujung barat Indonesia. Di Jawa Timur, beberapa bentuk Asosiasi Astronomi Surabaya. Sedangkan para guru pembina astronomi Bandung membentuk Forum Pembina Astronomi (FPA) bertujuan untuk berbagi pengetahuan dalam hal astronomi sebagai bahan ajar.

---

Di ruang tengah ini dijelaskan juga bagaimana terjadinya pembentukan tata surya; penjelasan tentang planet-planet yang ada di tata surya; penjelasan tentang bintang-bintang, satelit alami (bulan) suatu planet; penjelasan tentang matahari, fase bulan, gerhana dan benda-benda luar angkasa lainnya (komet, meteorit, asteroid, dan lain-lain).




Mbak Winda, sedang serius membaca informasi tentang penjelasan Tata Surya






Di ruang ini pada langit-langitnya dibuat seperti susunan planet-planet, juga pada lantainya dipasang tentang rasi bintang semua zodiac. Selain itu ada juga miniatur satelit buatan manusia, kendaraan luar angkasa, teropong, lensa, buku dongeng tentang mitologi Yunani dan lain sebagainya.





















Penjelasan tentang Polusi Cahaya (klik)



Di ruangan sebelum pintu keluar ada globe cukup besar yang dapat dijadikan tempat untuk berfoto ria, heheheee.



Hanya ini ulasan yang dapat saya berikan, banyak kurangnya itu pasti. Jika kalian ingin mengetahui lebih banyak tentang tempat ini, silahkan kunjung Planetariun dan Observatorium Jakarta. Buat saya cukup seru dan menyenangkan!!!

Letak Planetarium Jakarta, bersebelahan dengan Taman Ismail Marzuki


Komentar