Langsung ke konten utama

MUSEUM SEJARAH JAKARTA (MUSEUM FATAHILLAH)

Agustus 2018

Museum Sejarah Jakarta atau yang dikenal juga dengan nama Museum Fatahillah diresmikan pada tanggal 30 Maret 1974 oleh Gubernur Ali Sadikin. Bangunan bergaya arsitektur Neoklasik (abad ke-17) ini dahulu merupakan bekas kantor Balaikota Batavia yang mulai dibangun tahun 1627 oleh Gubernur Jendral J.P. Coen.


Selain sebagai gedung balaikota, dahulu gedung ini juga berfungsi sebagai Dewan Pengadilan dan Dewan Kotapraja. Di bangunan ini pula terdapat penjara yang menjadi penjara utama di kota Batavia. Tercatat beberapa tokoh nasional pernah ditahan di bangunan ini, antara lain Untung Suropati, Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponegoro.


Asal-usul kota Jakarta diawali dengan ditemukannya alat-alat batu, gerabah, manik-manik dan perunggu di sepanjang aliran sungai Ciliwung. Situs-situs tempat ditemukannya artefak-artefak tersebut yang diduga merupakan kesenian masyarakat di masa pra-sejarah, antara lain Kelapa Dua, Lenteng Agung, Condet, Pejaten dan Pasar Minggu. Selanjutnya, Jakarta di masa lalu menjadi bagian dari kisah sejarah kerajaan besar di bagian barat Jawa, yaitu Kerajaan Tarumanegara dan Sunda. Ditemukannya prasasti Tugu di Desa Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara menjadi indikasi bahwa daerah yang akan menjadi cikal bakal Jakarta memiliki peran yang penting di masa lalu. Pada perkembangannya kemudian, Jakarta menjadi pusat perdagangan, pemerintahan dan percampuran berbagai macam kebudayaan hingga menjadi kota modern yang terus berkembang hingga saat ini.

SEJARAH GEDUNG MUSEUM


Gedung “Stadhuis”
Gedung Museum Sejarah Jakarta yang megah ini dahulu adalah Stadhuis kota Batavia, artinya ‘Balai Kota’. Bangunan diresmikan oleh Gubernur Jendral Abraham van Riebeeck (1653-1713) putra Jan van Riebeeck pendiri Capetown, kota tertua di Republik Afrika Selatan. Dahulu lapangan di depannya merupakan halaman utama kota Batavia.


Pembangunan Gedung Balai Kota
Gedung Balai Kota bercorak sederhana, bergaya klassisisstik tercampur dengan unsur Barok. Rancangan bangunan dikerjakan oleh kepala tukang VOC, W.J. van de Velde dan dibangun di bawah pimpinan kepala tukang kayu J.F. Kemmer selama tiga tahun (1707-1710). Gedung ini agak menyerupai Balai Kota Lama di Amsterdam sekarang menjadi Paleis op de Dam. Istana ini dibangun setengah abad lebih dahulu oleh J. van Campen. Balai Kota Amsterdam tersebut juga menjadi model bagi Balai Kota Potsdam, dekat dengan Berlin (Jerman) yang dirancang oleh Boumann (1755)


Fungsi Gedung Balai Kota
Kantor terpenting dalam Balai Kota adalah Dewan Kotapraja (College van Scheepenen) dan Dewan Pengadilan (Raad van Justitie). Tetapi banyak instansi lain berkantor di gedung ini seperti panitia kesejahteraan anak-anak yatim-piatu, catatan sipil, dll. Antara tahun 1622 dan 1640 satu ruangan hari minggu dipakai untuk mengadakan ibadat, sampai Gereja Belanda di sisi barat halaman kota selesai dibangun.

Museum Sejarah Jakarta
Museum Sejarah Jakarta berawal dari Museum Oud Batavia (Batavia Lama) yang beralamat di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini Museum Wayang) yang diresmikan tahun 1939. Pada masa kemerdekaan tahun 1945 museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama dibawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia dan selanjutnya tahun 1968 diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta. Pada tahun 1974 koleksi dipindah ke gedung ‘Stadhuis’ ini yang kemudian diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta.

Sumber: berdasarkan A. Hueken, 2000, Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta.

Sejarah Gedung:

1707-1710 Gedung dibangun

1710-1816 Balai Kota Batavia

1816-1905 Kantor Residensi Batavia

1905-1925 Balai Kota Batavia

1925-1942 Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat

1942-1945 Kantor Pengumpulan Logistik Dai Nipon

1945-1952 Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat

1952-1968 Markas Komando Militer Kota (KMK) I, yang kemudian menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat

1968 Gedung diserahkan ke Pemda DKI Jakarta

30 Maret 1974 Diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin

Gubernur Jenderal Batavia
Para Gubernur Jenderal masa VOC umumnya mengawali karir di Batavia dari tingkat terendah, yaitu klerk (juru tulis), boekhouder (tenaga pembukuan), onderkoopman (saudagar junior), koopman (saudagar), tweede opperkoopman (saudagar senior kelas dua) dan terakhir eerste opperkoopman (saudagar kelas satu). Seorang opperkoopman dapat menduduki jabatan anggota luar biasa atau biasa dari raad van Nederlands-Indie (Dewan Hindia-Belanda). Untuk menjadi gubernur jenderal, seorang calon harus diajukan oleh Dewan di Batavia kepada Dewan XVII (Heeren Zeventien) di Amsterdam. Jika usulan disetujui, Dewan XVII akan mengeluarkan surat pengangkatan. Sambil menunggu surat sampai, seorang gubernur terpilih dapat menjalankan tugasnya. Oleh karena perjalanan Batavia-Amsterdam lebih dari 10 bulan, surat ini sering datang terlambat dan beberapa kali terjadi saat sampai, gubernur jenderal bersangkutan sudah meninggal dunia.






Setelah jatuhnya VOC, pemerintahan di Hindia Belanda kemudian diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Gubernur jenderal pada masa ini sebagian besar memulai karirnya di Belanda. Mereka diangkat oleh Raja atau Ratu Belanda dengan masa jabatan rata-rata 4 tahun. Masa jabatan Gubernur Jenderal VOC yang paling lama adalah Maetsuycker, yakni selama 25 tahun (1653-1678) dan yang paling pendek hanya selama tujuh bulan adalah Gubernur Jenderal Jan Willem Jansens (20 Februari 1811 – 18 September 1811), karena ia harus menyerahkan pemerintah kepada Inggris yang saat itu menduduki Batavia. Sebaliknya Jan Pieters Zoon Coen adalah satu-satunya gubernur jenderal yang dipilih dua kali.

Terdapat ruangan utama yang terdapat lukisan indah di dindingnya, selain itu juga terdapat masing-masing profil dan potret para gubernur jenderal yang terpampang pada masing-masing lukisannya. Umumnya, lukisan para gubernur jenderal masa VOC menggunakan bahan cat minyak di atas papan kayu atau lempengan logam. Sedangkan gubernur jenderal masa pemerintah Hindia-Belanda umunya menggunakan bahan cat minyak di atas kanvas.






Ruangan pertama ketika pertama kali masuk ke museum adalah ruangan Orientasi yang memajang info tentang kurun waktu sejarah tentang nama “JAKARTA” yang sebelumnya “KALAPA”



Lalu ke ruangan berikutnya kita akan melihat SEKAT RUANG dan LUKISAN KOTA BATAVIA ketika masa pendudukan Belanda.

Sekat Ruang ini dahulu digunakan sebagai penyekat/ pemisah ruangan yang memiliki ukiran disepuh dengan warna emas, yang kini sudah pudar dan menghilang. Gaya hias pada sekat ini adalah gaya Barok yang digemari di Batavia di sekitar abad 17. Terdapat pahatan berupa sulur-suluran, mahkota dan sarung pedang. Kemungkinan pada awalnya sekat ini merupakan bagian dari rana/ jendela angin yang dipasang di atas pintu, tetapi kemudian digunakan kembali dengan penambahan kerangka sehingga mejadi penyekat ruangan.




Ruangan selanjutnya terdapat Miniatur Gereja Baru Belanda. Miniatur yang merupakan replika Gereja Baru Belanda (De Nieuwe Hollandse Kerk) ini terbuat dari kayu ambon yang berwarna hitam. Gereja Baru Belanda yang dibangun 1733-1736 ini hancur akibat gempa bumi tahun 1808 yang dulunya berada di lokasi yang kini berdiri Museum Wayang. Sejumlah nisan orang yang dikubur di lingkungan gereja ini masih dapat dilihat di dalam halaman dalam Museum Wayang. Miniatur ini dibuat di Batavia dan merupakan bagian dari koleksi awal dari Museum Sejarah Jakarta.



Ada juga DUA KURSI PANJANG atau BANGKU PANJANG model Art Deco (penggunaan ornamen-ornamen berbentuk geometris yang mempresentasikan kemewahan) berbahan kayu sekitar tahun 1920 ini mungkin dahulu dipakai untuk dalam gedung bank. Bangku panjang ini diperoleh dari seorang tuan tanah Tionghoa yang berasal dari Mauk, Tangerang. Sandaran lengan pada sisi kiri dan kanan diukir dengan motif singa bersayap, mungkin kombinasi mitologi budaya Eropa (berakar dari warisan budaya Sumeria, Akkadia dan Persia).





Ruangan berikutnya diberi nama Ruang “1527”. Menurut sumber (klik ini) sejarah pada tahun 1527 – 1570:

Dalam rangka memperluas ekspansinya ke daerah Barat, Demak mengirim Fatahillah untuk menggagalkan rencana kerja sama antara Portugis dan Pajajaran. Pada tahun 1527, Fatahillah mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kemenangan yang sempurna. Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Banten dan Jayakarta.

Dan sepertinya ini juga asal-usul HUT DKI Jakarta ditetapkan tanggal 22 Juni juga alasan museum ini dinamakan Museum Fatahillah. 

Pada dinding terdapat informasi tentang pergantian nama dari KALAPA (Sunda Kelapa) menjadi JAKARTA.

“KALAPA” DAN “JACATRA” DI DALAM CATATAN SEJARAH
Di dalam sumber-sumber sejarah yang ada, penulisan Sunda Kalapa setelah berganti nama adalah "Jayakarta" yang artinya adalah "kemenangan yang sempurna". Ada banyak versi penulisan Jayakarta, tetapi itu adalah hal yang lumrah karena penulisnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Orang Belanda menulis nama kota dengan Jacatra, Jakatra, Iakarta. Demikian juga dengan orang Portugis yang menulis nama kota ini dengan ejaan yang berbeda seperti Xacatara dan sebagainya. Perbedaan itu terjadi karena di abad ke-16 sampai 19 belum ada standarisasi penulisan nama-nama tempat di Indonesia dan Asia pada umumnya. Orang-orang Eropa biasanya menulis nama tempat dan nama orang yang mereka temui di Indonesia dan Asia sesuai dengan cara pengucapan mereka. Bagaimanakah nama tempat ini berubah? Sejarahnya berakar jauh ke tahun 1521.






DATANGNYA VOC DI JAKARTA DAN PENDIRIAN BATAVIA
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) adalah perusahaan dagang multinasional tertua di dunia yang didirikan pada 20 Maret 1602 di Belanda. Kata “Compagnie” di dalam nama VOC tertinggal dalam memori orang Indonesia sebagai "kompeni" atau "kumpeni" yang menjadi salah satu kata informal (yang cenderung mengejek) yang sering dipakai untuk mengacu pada para pendatang kaukasia. VOC sebelumnya datang ke Banten, tetapi kemudian mereka mendirikan pusat dagang mereka di Kalapa dan membangun Batavia di tahun 1619. Batavia kemudian menjadi pusat perdagangan yang melebihi Banten hingga di tahun bangkrutnya VOC di 1799. Dari Batavia, VOC mengendalikan monopoli perdagangannya tidak hanya saja di kepulauan Nusantara, tetapi juga di Asia Tenggara.




1610
Perjanjian pertama antara Pangeran Jayakarta (Pangeran Wijayakrama), penguasa Jayakarta dengan VOC diwakili Jacques l’ Hermite dengan amanat dari Raja Belanda Mauritius de Nassau untuk membeli sebidang tanah dengan harga 1.200 rijksdaalder di Kalapa (Jakatra) guna mendirikan kantor dagang VOC (factorij) di timur sungai Ciliwung.

1615
Inggris mengadakan perjanjian dengan Pangeran Jayakarta untuk mendirikan benteng dan kamar dagang di barat sungai Ciliwung.

1618
Persaingan politik dan ekonomi antara Inggris, Belanda, dan Banten semakin meningkat dan kondisi memanas. Penangkapan kapal Belanda oleh Inggris dijawab dengan Belanda membakar kantor dagang Inggris di Jayakarta. Banten mendukung Inggris sementara JP Coen pergi ke Ambon untuk mendapatkan bala bantuan VOC.

1619
Pada akhirnya, Banten menjadi kekuatan yang mendorong keluar Inggris keluar dari area ini, begitu juga Pangeran Jayakarta yang diperintahan untuk keluar dari wilayah kekuasaannya. Banten juga kemudian meninggalkan kota ini dalam keadaan kosong tanpa penguasa. Belanda tidak pergi dan merayakan “kemenangan” ini ketika Coen kembali dengan 1000 pasukan pada 12 Maret. Coen kemudian membakar kota berikut dengan masjid dan istana Pangeran Jayakarta serta area di sekitarnya. Dia kemudian memulai perencanaan dan pembangunan BATAVIA.





Sejarah senjata api berawal dari ditemukannya bubuk mesiu di Cina pada abad ke-9. Mereka menggunakan senjata dengan bubuk mesiu untuk melawan tentara Mongol yang menyerang utara Cina. Setelah Bangsa Mongol menguasai Cina dan membangun Dinasti Yuan, mereka menggunakan teknologi bubuk mesiu Cina untuk keperguan invasi mereka ke Jepang.

SULTAN AGUNG
Terdapat satu ruangan khusus, yang memajang lukisan beserta sketsa “Pertempuran antara Sultan Agung dan J. P. Coen” karya Sindoesoedarsono Soedjojono (klik ini dan ini).








Hubungan antara Sultan Agung dari Mataram (sekarang Jawa Tengah) dan kota Batavia adalah ketika terjadi “Serangan Besar di Batavia” (sekitar tahun 1628-1629) oleh Sultan Agung (klik ini). Sejarah Penyerbuan di Batavia bisa dibaca di sini.



Di lantai atas akan kita temui ruangan yang memajang furniture (meja, kursi, lemari, sekat ruangan) dan peralatan rumah tangga yang di gunakan masyarakat di tahun sekitar 1800-an.


















Di area tengah ruangan lantai atas ini, terdapat lukisan yang menceritakan hukuman Congkel Bola Mata (info lebih lengkap dapat dilihat di sini).



LAHIRNYA SEBUAH KOTA
Berawal dari wilayah di luar kota Batavia (kini dikenal dengan area “DETABEK” (Depok, Tangerang, Bekasi)) yang dijadikan pemukiman kelompok penduduk awal dan para prajurit VOC (prajurit Indonesia) yang datang dari luar Pulau Jawa (Bugis, Makasar, Buton, Bali dan Melayu) lalu membentuk kampung-kampung berdasarkan etnis dan suku masing-masing dan dikenal dengan OMMELANDEN.















JAKARTA, SEBUAH KAMPUNG BESAR
Jakarta sebagai sebuah metropolis adalah sejatinya berawai dari banyak kumpulan kampung-kampung yang terbentuk sejak lama, baik berdasarkan kelornpok etnik tertentu atau yang terbentuk secara alami. Pembentukan kampung sebagai satuan komunitas dengan latar belakang etnik yang sama sering dianggap sebagal salah satu bentuk dari penerapan kebijakan segregasi oleh pemerintah kolonial. Penempatan pemukiman etnik seperti Makassar, Bugis, BaIi, Madura, dan lain-lain (Eropa, Tionghoa, Melayu) dalam kampung-kampung terpisah di daerah sekitar kota tidak hanya terdapat di Bratavia. Namun juga kota-kota lain di Pantai Utara Jawa. Tidak ada suatu pola yang jelas dalam pengaturan penempatan kampung di daerah sekitar Batavia.















KELOMPOK MASYARAKAT DI BATAVIA
J.P. Coen menemukan dan membangun Batavia sebagai pusat kantor dagang dan admknistrasi VOC, dan tidak pernah ditujukan sebagai tempat bermukim orang-orang Belanda. Tidak heran, tidak ada gelombang migrasi dari keluarga-keluarga Belanda ke Batavia dan hanya ada sedikit perempuan-perempuan Belanda di Batavia. Meski jumiah mereka kecil, namun warga Eropa merupakan kelompok sosial dominan di dalam kehidupan sosial kota Batavia.

Selain orang Eropa, Batavia terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang datang atau didatangkan darl tempat-tempat lain di luar Batavia. Percampuran antarmasyarakat turut membentuk kelompok masyarakat baru yang mewarnai kehidupan sosial di Batavia. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut menjadi bagian dari sejarah pembentukan identitas sosial sebuah kota, yang hingga kini masih dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota Jakarta.

Untuk informasi lebih lengkap perihal masyarakat Batavia dapat dilihat di sini.




di ruangan ini ada penjelasan perihal perkembangan kota Jakarta dari Kota Modern menjadi Kota Megapolitan, akibat urbanisasi dan ledakan populasi penduduk yang di mulai pada tahun 1970-an.





KOTA PARA PENDATANG
Jakarta sebagai kota pendatang menekankan pada gambaran kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang beragam di lingkungan kota. Keragaman itu kemudian menjadi landasan perkembangan kehidupan kota Batavia.

Kota Batavia memiliki penampilan fisik yang lebih mirip dengan kota-kota pelabuhan di Eropa daripada kota kota di pelabuhan Asia. Meskipun dibangun di pantai utara jawa bagian barat, kota Batavia menampilkan kesan yang tidak asing bagi para pendatang dari Eropa yang melihatnya untuk pertama kali dari arah laut. Setelah berlayar sekitar tujuh bulan para pendatang Eropa tersebut akan terkesan oleh penampilan fisik Batavia yang berupa kota berbenteng lengkap dengan kastilnya namun berada di daerah tropis.

Sampai dengan akhir dekade ketiga abad ke-18 Batavia adalah sebuah kota yang sehat dan indah. Namun kemakmuran dan keindahan Batavia berakhir di tahun 1733 ketika kota ini dilanda wabah penyakit malaria. Akibat dari merajalelanya penyakit malaria ada ribuan penduduk Batavia yang menjadi korban. Setiap tahun, sejak tahun 1733, ada sekitar 2000 penduduk Batavia yang meninggal terserang penyakit malaria.

Ketidaksehatan Batavia sebenarnya tidak terjadi tanpa sebab. Ada beberapa penjelasan mengapa kota Batavia menjadi tidak sehat sejak tahun 1733, yaitu:

1. Semakin banyak wilayah di utara kata Batavia yang dijadikan tambak ikan oleh para nelayan. Air yang tergenang menjadi tempat berkembang biak nyamuk malaria.

2. Perkembangan industri gula di Ommelanden, dimana proses penggilingan gula memerlukan banyak bahan bakar kayu dalam proses memasak air gula untuk menjadi Kristal. Keperluan kayu bakar dalam jumlah besar menyebabkan penggundulan hutan, mengakibatkan debit air yang masuk kota Batavia di musim kemarau menjadi berkurang. Kanal-kanal yang airnya sedikit dan tidak mengalir, menjadi sarang nyamuk malaria.

3. Lemahnya kontrol pemerintah Batavia terhadap pembangunan berbagai bendungan selokan, dan saluran air untuk kegiatan pertanian di Ommelanden, Akibatnya menyebabkan air sungai dan kanal yang mengalir masuk ke kota Batavia menjadi mengering. Air yang terjebak di dalam sungai dan kanal selama musim panas mendatangkan bau yang tidak sedap dan menjadi sarang nyamuk malaria.

Bicara tentang industri penggilingan gula, ini juga berkaitan dengan peristiwa pembataian etnis Cina yang dikenal dengan “Geger Pecinan” di tahun 1740-an (baca ini).

Memasuki awal abad ke-20, dua dari tiga penduduk kota Batavia adalah pendatang dari Eropa, Timur Tengah, Asia dan Asia Timur, serta penduduk lainnya dari Jawa dan Luar Jawa. Sensus tahun 1930 menunjukkan jumlah para pendatang mencapal 340.138 jiwa melebihi penghuni lama dan etnis Betawi yang mencapai 192.877 jiwa.








VOC DALAM LINTAS SEJARAH INDONESIA

1602
Berdirinya VOC

1610
VOC menduduki Batavia yang kemuudian dijadikan kantor pusat pada tahun 1619

1615
VOC memiliki 50 kapal dagang yang berlayar di jalur-jalur perdagangan VOC (kemudian menjadi 150 kapal di akhir abad ke-17)

1652 - 1654
Perang antara Inggris - Belanda pertama

1653
VOC mendirikan kantor dagang di Cape Town, Afrika Selatan

1661 - 1662
VOC kehilangan kontrol atas Formosa

1665 - 1667
Perang Inggris - Belanda kedua

1667
VOC kehilangan klaim atas Cape Town akibat perang Inggris – Belanda kedua

1672 – 1673
Perang Inggris - Belanda ketiga. Monopoli VOC atas perdagangan lada mendapat tantangan dari EIC

1780 – 1784
Perang Inggris – Belanda keempat. Inggris memblokade semua kapal VOC yang mendekat ke Belanda

1783
VOC kehilangan seluruh kapalnya

1799
VOC dinyatakan bangkrut

DARI BALAI KOTA MENJADI MUSEUM JAKARTA
Sejak pembentukan Gemeente Batavia pada 1905, De Oude Sradhuis, atau "Balai Kota Tua" berfungsi menjadi pusat administrasi Batavia sebelum menjadi museum. Di masa VOC dan Hindia Belanda gedung ini berfungsi sebagal tempat pemerintahan, pengadilan, catatan sipil, dan peribadatan pada hari libur. Gedung ini berubah menjadi pusat administrasi kotapraja Jakarta sampai kepindahan kantor kotapraja ke Tanah Abang pada 1913 (dan kemudian Koningsplein Zuid atau Jalan Merdeka Selatan sekarang). Gedung ini kemudian beralih fungsi sebagai kantor residen Jawa Barat sampiai 1942 ketika tentara Jepang menggantikannya sebagai pusat logistik. Setelah kemerdekaan, bangunan ini kembali menjadi kantor pemerintah provinsi Jawa Barat clan Markas Komando Militer I Kota sampai tahun 1961. Pada 1971 Gubernur Ali Sadikin menetapkannya sebagai cagar budaya dan menjadi Museum Sejarah jakarta pada 30 Maret 1974.






GAYA INDIES 
Istilah "Indies" seringkali dipakai untuk mengkategorisasikan karya seni atau arsitektur adaptif yang dihasilkan di masa Hindia Belanda (sejak 1799 hingga 1942).

Salah satu bentuk awal mewakili perkembangan arsitektur modern di ruang publik yang mengadaptasi lingkungan tropis adalah gedung Nederlandsche-Indische Levensverzekering en Lijfrente (Nillmij). Gedung ini dirancang dan dibangun pada 1909 dan kemudian disusul oleh pembangunan Kunstkring pada 1913.

Gaya uniknya kombinasi dari gaya lokal Nusantara, dipengaruhl gaya Eropa dengan terkadang dipengaruhi sentuhan gaya Indies dari daerah koloni Belanda lain. Salah satu peninggalan dari gaya seni ini yang masih dapat dilihat selain arsitektur adalah koleksi furnitur yang menjadi salah satu fokus pengkoleksian di Museum Sejarah Jakarta.

Keduanya adalah hasil karya P.A.J. Moojen yang dianggap sebagal pionir aliran rasionalis di Hindia saat itu. Kini, seperti Stasiun Jakarta Kota dan sejumlah gedung yang masih bertahan sampai sekarang dan menjadi landmark penting kota Jakarta.





Di ruangan lantai bawah, kita dibawa kembali ke peradaban manusia prasejarah di Jakarta dan kerajaan Tarumanegara.




Peninggalan arkeologi yang ditemukan di Jakarta dan sekitarnya memiliki ciri yang serupa dengan Kompleks Gerabah Buni (desa Buni, Bekasi), terutama temuan berupa gerabah (dari berbagai bentuk dan ukuran), beliung, artefak logam, batu asah, gelang batu dan manic-manik. Ciri-ciri yang serupa tersebar sampai ke daerah aliran sungai Citarum dan sungai Bekasi, termasuk ke wilayah Jakarta bahkan sampai ke Banten.

Beberapa peralatan batu ditemukan hingga temuan peralatan perunggu besi di masa bercocok tanam.







KERAJAAN TARUMANEGARA

Tarumanagara (klik ini) adalah salah satu kerajaan tertua di nusantara (abad 5M) seiain Kutai (abad 4M) yang meninggalkan prasasti-prasasti Yupa di Kalimantan Timur. Nama “Taruma” berarti warna biru indigo yang dalam bahasa Sunda memiliki arti yang sama. Tradisi Sunda mengenal nama ini sebagi warra alami yang berasal dari daun tarum yang dipakai sejak dahulu untuk mewarnai pakaian.





KERAJAAN SUNDA
Setelah kerajaan Tarumanagara hilang dari catatan sejarah, Jawa bagian barat pun mengalami masa kegelapan seiarah, hingga kemudian ditemukan prasasti Sanghyang Tapak yang dikeluarkan oleh Maharaja Sri Jayabhupati (952 Saka/1030 Masehi) Di dalam prasti ini Jayabhupati berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah haji ri Sunda (raja di Sunda).


Peta Ciela

Untuk daerah kekuasaan Kerajaan Sunda dapat dilihat di sini.

Hubungan antara kota Batavia dengan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Tarumanagara adalah pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan cikal-bakal kota Jakarta, di mana Sunda Kelapa (klik ini) merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda (Kerajaan Pajajaran) dan sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih awal, yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara.

Dan perjalanan terakhir, menuju PENJARA BAWAH TANAH di mana penjara-penjara ini mungkin pernah mengurung beberapa pahlawan nasional Indonesia, seperti Untung Suropati, Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponegoro.

Saya tidak berani memasuki penjara bawah tanah ini, karena suasana saat itu sepi sekali dan gelap. 





Komentar